Jumat, 17 Agustus 2012

Kekerasan Simbolis dalam Uji Keperawanan


Usulan anggota DPRD Provinsi Jambi, akhir bulan lalu, untuk membuat peraturan daerah uji keperawanan bagi siswi yang akan masuk SMP dan SMA menimbulkan protes keras Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Menteri Linda Amalia Sari menolak usulan itu karena melanggar hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 36 Tahun 1990 dan membuat Undang-Undang No 23/ 1990 tentang perlindungan anak.
”Kami heran, usulan seperti itu bisa keluar dari anggota DPRD yang seharusnya memahami pengarusutamaan jender (PUJ). Bu Linda sudah menyatakan, apabila usulan itu (dilaksanakan) akan merampas masa depan anak,” kata Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Wahyu Hartomo, Kamis (7/10).
Usulan uji keperawanan untuk siswi itu menimbulkan protes juga di kalangan penggiat kesetaraan jender karena merupakan bentuk kekerasan simbolis, mendiskriminasi perempuan, melecehkan integritas tubuh, dan melanggar HAM.
Menurut Wahyu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sudah berdialog dengan anggota DPRD bersangkutan. Dia mengatakan, tes ”hanya” berupa wawancara. ”Walaupun berupa wawancara, tetapi tes itu akan menimbulkan stigma yang akan terus terbawa hingga dewasa,” tandas Wahyu.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sedang menyusun surat edaran kepada semua kepala daerah mengenai panduan perlindungan anak dan PUJ. Pengiriman surat edaran ini merupakan langkah jangka pendek. Langkah yang lebih strategis yang tengah disiapkan adalah menyusun UU PUJ. Menurut Wahyu, RUU ditargetkan siap dibahas bersama DPR pada awal 2011.
PUJ masih lemah
Usulan uji keperawanan bukan kali pertama diusulkan. Sebelumnya, pada 2007, juga ada usul serupa dari Kabupaten Indramayu. Usulan mengetes keperawanan siswi sekolah itu akhirnya batal dilaksanakan bupati pada pertengahan Agustus 2007 setelah diprotes masyarakat (Kompas, 18/8/ 2007).
Munculnya usulan tes keperawanan kembali menunjukkan rendahnya pemahaman pemerintah—eksekutif, legislatif, yudikatif—tentang PUJ. Seperti dikemukakan Prof Dr Ir Aida Vitayala S Hubeis dalam orasi guru besar Institut Pertanian Bogor dua pekan lalu menyebut, PUJ seperti diamanatkan Inpres No 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender, belum terintegrasi di keseluruhan program departemen. Kelembagaan PUJ belum memiliki kekuasaan membuat kebijakan karena pelaksana, yaitu unit pemberdayaan perempuan, bukan dari eselon penentu kebijakan (Kompas, 1/10).
Orasi berdasarkan temuan penelitian Aida Vitayala (2004) dan penelitian oleh Bappenas dan Kantor Menneg Pemberdayaan Perempuan (2006) tersebut tidak berbeda jauh dari hasil pantauan Komnas Perempuan. Komnas Perempuan menemukan, sepanjang 2009-2010 terdapat 63 peraturan daerah yang mendiskriminasi perempuan, 38 perda di antaranya mengkriminalkan perempuan. Pada periode yang sama, hanya ada 7 perda yang tidak diskriminatif, sedangkan pantauan pada tahun 1999-2008 menemukan 154 perda diskriminatif.
Usulan membuat rancangan perda tes keperawanan di Provinsi Jambi selain memperlihatkan ketidakpahaman pejabat pemerintah tentang PUJ, juga menunjukkan pengaturan negara terhadap tubuh perempuan yang berakibat diskriminasi dan tak terpenuhinya hak konstitusi perempuan sebagai warga negara.
Komnas Perempuan dalam laporan ”Atas Nama Otonomi Daerah: Pelembagaan Diskriminasi dalam Tatanan Negara-Bangsa Indonesia” (2010) menyebutkan, dari 154 perda diskriminatif yang lahir tahun 1999-2008, 106 kebijakan di antaranya menyebutkan alasan penerbitan kebijakan adalah moralitas agama, ”meningkatkan iman dan takwa”, dan lebih separuhnya spesifik menyebut tujuan ”mewujudkan karakter daerah”.
Penggunaan tubuh perempuan dalam menjaga moralitas masyarakat dan untuk politik pencitraan berakibat pada praktik diskriminasi. Perempuan menjadi sasaran penertiban karena dianggap paling mudah dikendalikan dan dicitrakan sebagai simbol moralitas komunitas.
Laporan Komnas Perempuan juga menyebutkan, pakaian yang dianggap sejalan dengan citra yang ingin diwujudkan pemda dipaksakan kepada anggota masyarakat. Kabupaten, antara lain Banjar dan Bulukumba, menetapkan aturan yang secara jelas mengatur cara berpakaian perempuan sesuai aturan agama.
Sebanyak 38 kebijakan daerah yang melarang prostitusi ditujukan untuk menjerat perseorangan. Dalam masyarakat, prostitusi lebih sering diasosiasikan dengan perempuan. Akibatnya, dalam pelaksanaan kebijakan daerah, perempuan menjadi korban, seperti terjadi di Tangerang, Bantul, dan Indramayu.
Sepuluh tahun setelah Inpres No 9/2000, pemahaman tentang kesetaraan dan keadilan jender pejabat pemerintah masih memprihatinkan. Pemerintah masih mendiskriminasi, melalui kebijakannya, meski UUD 1945 menjamin hak, akses, dan kewajiban yang sama bagi setiap warga negara. (Ninuk M Pambudy)

0 komentar:

Posting Komentar